BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tembakau memiliki peranan yang
penting dalam perekonomian nasional baik dari aspek penyediaan lapangan kerja,
sumber pendapatan Negara, pendapatan petani maupun sektor jasa lainnya.
Tembakau dan industri hasil tembakau dalam perekonomian nasional mampu berperan
menyediakan lapangan kerja secara langsung maupun tidak langsung bagi 6,4 juta
orang, meliputi 2,3 juta petani tembakau, 1,9 juta petani cengkeh,199.000
pekerja pabrik rokok, sekitar 1,15 juta pedagang eceran dan asongan, 900.000
orang yang bekerja pada sektor lembaga keuangan, percetakan dan transportasi
(Rachman, 2003).
Tembakau merupakan salah satu
komoditas pertanian andalan yang dapat memberikan kesempatan kerja yang luas
dan memberikan penghasilan bagi masyarakat pada setiap rantai agribisnisnya.
Selain itu, tembakau menunjang pembangunan nasional berupa pajak dan devisa
Negara (Cahyono, B, 2005).
Untuk meningkatkan pendapatan
petani tembakau sekaligus meningkatkan ekspor, pemerintah telah menganjurkan
kepada petani tembakau untuk melaksanakan intensifikasi. Dalam pelaksanaan
intensifikasi ini agar petani tembakau berhasil maka perlu diatur
langkah-langkahnya. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
intensifikasi adalah masalah proteksi tanaman atau perlindungan tanaman dari
penyakit sejak dini.
Pada tanaman tembakau, masalah
proteksi sangat penting sekali khusunya saat pembibitan. Hama dan penyakit
cukup banyak dan perlu penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam hal pengendalian
hama sampai saat ini boleh dikatakan dapat diatasi, namun dalam hal penyakit,
masih saja mengalami banyak kesulitan. Tidak jarang gagalnya produksi tembakau
disebabkan oleh serangan penyakit, seperti yang disebabkan oleh cendawan,
bakteri, dan virus. Dalam menghadapi penyakit pada pembibitan tembakau yang
penting disini adalah bukan tindakan pemberantasan, namun tindakan pencegahan.
Tindakan pemberantasan sampai saat ini hampir tidak pernah berhasil (Sudarmo,
S. 1992).
Tanaman tembakau dibagi menjadi
dua kelompok besar yaitu tembaku Na Oogst dan Voor Oogst. Tembakau Na Oogst adalah
tembakau yang ditanam pada akhir musim kemarau dan dipanen pada musim hujan,
tembakau Voor Oogst adalah tembakau yang ditanam awal musi kemarau dan dipanen
pada musim kemarau. Salah satu tembakau Voor ogst adalah tembakau besuki,
tembakua jember atau lebih dikenal dengan tembakau kasturi.
Segala jenis tembakau diharapkan
memiliki kualitas dan kuantitas yang sangat tinggi untuk memenuhi permintaan
para konsumen baik yang berasal dari dalam atau luiar negeri. Salah satu faktor
yang mempengaruhi kualitas tembakau adalah perlindungan tanaman tembakau dari
serangan penyakit. Biaya untuk mendapatkan fungisida saat ini harganya cukup
besar dan sering kali fungisida yang digunakan berasal dari bahan kimia yang
dalam penggunaannya bersifat tidak ramah lingkungan dan dapat mengurangi mutu
hasil panen.
Sistem pengendalian penyakit yang
menjadi jalan keluar terbaik saat ini yaitu dengan sistem pengendalian ramah
lingkungan yaitu sistem pengendalian yang memperhatikan kondisi lingkungan
ekosistem, misalnya dengan pestisida organik atau dengan cara musuh alami.
Adapun cara yang dapat kita
lakukan yaitu dengan memanfaatkan agen hayati salah satunya adalah Trichoderma
sp sebagai musuh alami.
Agen hayati mencakup pengertian
mahluk hidup yang dimanfaatkan sebagai agen pengendali Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT). Pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alami serangga hama,
penyakit dan tumbuhan pengganggu untuk mengurangi kepadatan populasi
(Mangndihardjo, 1975; Speight et al.,1999).
Pengendalian hayati dalam pengertian ekologi didefinisikan sebagai
pengaturan populasi organisme tersebut berada dibawah rata-ratanya dibandingkan
bila tanpa pengendalian (De Bach, 1997, dalam Oka, 1998).
Pemanfaatan Trichoderma sp.
diharapkan mampu meningkatkan produksi tanaman tembakau khususnya dalam hal
pengendalian penyakit yang sering menyerang tanaman tembakau sehingga selain
didapatkan hasil produksi yang optimal kita juga mampu menerapkan sistem
budidaya yang ramah lingkungan
1.2 Rumusan Masalah
Pada tanaman tembakau, masalah
proteksi atau perlindungan dari penyakit sangat penting. Hama dan penyakit cukup banyak dan perlu
penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam hal pengendalian hama sampai saat ini
boleh dikatakan dapat diatasi, namun dalam hal penyakit, masih saja mengalami
banyak kesulitan. Tidak jarang gagalnya pembibitan tembakau disebabkan oleh
serangan penyakit, seperti yang disebabkan oleh cendawan, bakteri, dan virus.
Dalam menghadapi penyakit pada pembibian tembakau yang penting disini adalah
bukan tindakan pemberantasan, namun tindakan pencegahan pencegahan sejak
dini atau sejak usia pembibitan.
Tindakan pemberantasan penyakit sampai saat ini hampir tidak pernah berhasil
(Sudarmo,S.1992).
Hingga saat ini, baik petani
maupun perusahaan yang melakukan pembibitan tanaman tembakau dalam pengendalian
penyakit masih banyak yang menggunakan bahan-bahan kimia sebagai bahan utama
untuk mengendalikan penyakit yang menyerang pembibitan tembakau. Oleh karena
itu, masih butuh penelitian sampai manakah kemampuan agen hayati (Trichoderma sp.)
sebagai pengendali penyakit yang sering menyerang pada pembibitan tanaman
tembakau sehingga nantinya kita mampu menerapkan sistem pengendalian penyakit
yang ramah lingkungan dan dari segi biaya pun lebih murah dibandingkan
pengendalian yang menggunakan bahan-bahan kimia.
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Mengetahui sampai manakah
Trichoderma sp. mampu mengendalikan intensitas serangan penyakit pada
pembibitan tanaman tembakau.
Mengetahui perbandingan penggunaan
agen hayati (Trichoderma sp.) dibandingkan menggunakan fungisida sintetik atau
kimia.
Trichoderma sp. manakah yang
paling efektif sebagai pengendali serangan penyakit pada tanaman tembakau.
Mengetahui seberapa kuat
Trichoderrma sp. dalam mencegah cendawanRhizoctonia solani yang menyerang
pebibitan tembakau kasturi.
1.3.2 Manfaat
Penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat sebagai pengatahuan baru dalam berbudidaya tanaman tembakau
khususnya dalam pengendalian penyakit pada saat pembibitan yang sering
menyerang sehingga dihasilkan bibit yang sehat dan menghasilkan tanaman dengan
produktivitas yang optimal dan lebih murah serta ramah lingkungan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tembakau
Menurut musimnya, tembakau di
Indonesia dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu tembakau Voor-Oogst (VO) dan tembakau
Na-Oogst (NO). Tembakau VO ditanam pada akhir musim hujan dan dipanen pada
musim kemarau. Sedang tembakau VO ditanam pada akhir musim kemarau dan dipanen
pada musim hujan (Cahyono, 1990).
Tanaman tembakau dapat tumbuh
optimal pada daerah dengan ketinggian kurang dari 700 m diatas permukaan laut
dengan temperatur lebih dari 22o C dan curah hujan rata-rata 2000mm/tahun.
Sedang tembakau pada dataran tinggi sangat baik bila ditanam didaerah dengan
curah hujan rata-rata 1500 – 3500 mm/tahun (Cahyono, 1990).
Tembakau banyak memiliki varietas,
namun yang banyak dibudidayakan adalah dari induk Nicotiana tabacum dan
Nicotiana rustica. Sekarang ini Nicotiana tabacum merupakan jenis tembakau yang
banyak dibudidayakan yang merupakan tembakau asli dari India Barat, sebagian
Amerika Tengah dan Ameriaka Selatan. Meskipun aslinya tanaman tembakau adalah
tanaman tropis namun tembakau ini cocok dibudiyakan baik didaerah sub tropis
atau didaerah beriklim sedang.
Tembakau adalah jenis tanaman
semusim dan dimanfaatkan daunnya sebagai bahan pembuatan rokok. Tanaman
tembakau diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Spermatophyta
Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotiledoneae
Bangsa : Solanales
Suku : Solanaceae
Marga : Nicotiana
Jenis : Nicotiana tabacum
2.2 Penyakit Pada Pembibitan
Penyakit yang sering menyerang
pada pembibitan tembakau adalah Penyakit hangus batang atau damping off
merupakan jenis penyakit yang disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani.
Meskipun jenis penyakit ini tidak begitu meluas namun memiliki gejala yang
sangat nampak yaitu gejala serangannya sama dengan yang disebakan oleh cendawan
phytium dan phytohthora. tanda tanda serangannya adalah menyebabkan bibit
terserang layu, karena terdapat gelang gelang yang berwarna hitam, tepat pada
batang permukaan tanah. Mula mula daun layu dan berwarna kuning, bila dibelah
batang yang terserang terlihat kering dan berwarna kecoklatan dan di
dalamnyaditumbuhi cendawan.
Penyakit hangus batang yang
disebabkan oleh cendawan rhizoctonia solani pada pembibitan ini tidak tidak
begitu meluas. Untuk mengatasi atau mencegah serangan ini dapat dilakukan
beberapa macam cara, baik secara kimiawi atau dengan memanfaatkan agen hayati
atau musuh alaminya.
2.3 Pengendalian Secara Hayati
Pengendalian hayati adalah teknik
pengendalian OPT dengan melibatkan peranan musuh alami dari OPT tersebut. Agen
hayati mencakup pengertian mahluk hidup yang dimanfaatkan sebagai agen
pengendali Organisme Pengganggu Tanaman. Pengendalian hayati dalam pengertian
ekologi didefinisikan sebagai pengaturan populasi organisme tersebut berada
dibawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian (De Bach, 1997, dalam
Oka, 1998).
Pengendalian secara hayati adalah
kerja dari beberapa faktor biotis seperti parasitoid, predator dan patogen terhadap
mangsa atau inang, sehingga menghasilkan suatu keseimbangan umum yang lebih
rendah dari pada keadaan yang ditunjukkan apabila faktor tersebut tidak ada
atau tidak bekerja (Stern et al., 1959).
Pengendalian hayati memanfaatkan
spesies-spesies mahluk hidup tertentu untuk mengendalikan hama penyakit
tanaman. Pemanfaatan ini dimungkinkan karena adanya interaksi antara dua
spesies mahluk hidup atas keuntungan yang satu memangsa atau sebagai parasit
dan lainnya dirugikan karena dimakan atau meningkatkan efisiensi dan aktivitas
musuh alami sehingga peranannya semakin nyata. Penggunaan pestisida dapat
menurunkan populasi musuh alami, oleh sebab itu mengurangi penggunaan pestisida
dapat membantu melindungi musuh alami (De Bach, 1997, dalam Oka, 1998).
Potensi musuh alami akhir- akhir
ini sudah banyak dikembangkan, artinya pengendalian OPT sudah banyak
memanfaatkan peran musuh alami, seperti predator, parasitoid, patogen serangga
dan agens antagonis.
2.3.2 Kelebihan dan Kekurangan
Agen Hayati
1. Kelebihan agen hayati, antara
lain :
Selektifitasnya tinggi dan tidak
dapat menimbulkan ledakan hama baru dan resurgensi hama.
.Faktor pengendali (agen) yang
digunakan tersedia di lapang.
Agen hayati (parasitoid dan
predator) dapat mencari sendiri inang atau mangsanya.
Agen hayati (parasitoid dan
predator, patogen) dapat berkembang biak dan menyebar.
Tidak menimbulkan resistensi
terhadap serangga inang atau mangsa ataupun kalau terjadi sangat lambat.
Pengendalian ini dapat berjalan
dengan sendirinya karena sifat agens hayati tersebut.
Tidak ada pengaruh samping yang
buruk seperti pada penggunaan pestisida
Pengendalian hayati relatif murah.
2. Kelemahan agen hayati, antara
lain :
Pengendalian terhadap OPT berjalan
lambat.
Hasilnya tidak dapat diramalkan
Sukar untuk pengembangan dan
penggunaannya
Dalam pelaksanaannya pengendalian
hayati memerlukan pengawasan pakar dalam bidangnya.
Dalam mengembangkan pengendalian
hayati harus selalu dikawal atau dimonitor.
2.4 Bioekologi Trichoderma sp
Trichoderma sp. masuk dalam kelas
Euascomycetes dan family Hypocreaceae. Konidiofor hyaline, bercabang dan
pyramidal. Konidia (dengan diameter rata – rata 3 µm) berbentuk sel tunggal dan
bulat permukaannya halus dan kasar (Smith, et al, 1990).
Agen antagonis patogen tumbuhan
yang telah banyak dikembangkan adalah cendawan Trichodema sp. Klasifikasi
cendawan Trichoderma sp. adalah sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Subdivisi : Pezizomycotiana
Kelas : Sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : Hypocreaceae
Genus : Trichoderma
Cendawan marga Trichoderma terdapat lima jenis yang
mempuyai kemampuan untuk mengendalikan beberapa patogen yaitu Trichorderma
harzianum, Trichorderma koningii, Trichorderma viride, Trichorderma hamatum dan
Trichorderma polysporum. Jenis yang banyak dikembangkan di Indonesia antara
lain Trichorderma harzianum, Trichorderma koningii, Trichorderma viride.
Trichoderma sp. umumnya penghuni
tanah, khususnya pada tanah organik. Cendawan ini dapat hidup sebagai saprofitik
atau parasitik terhadap cendawan lain, bersifat antagonistik dan banyak
digunakan sebagai pengendalian biologi (Sundheim dan Tromsno, 1988).
Trichoderma sp. juga ditemukan pada permukaan akar bermacam-macam tumbuhan,
pada kulit kayu yang busuk, terutama kayu busuk yang terserang cendawan dan
pada sklerotia atau propagul lain dari cendawan lain. Cendawan Trichoderma sp.
dapat hidup pada beberapa macam kondisi lingkungan. Trichoderma hamatum dan
Trichoderma pseudokoningii dapat berdaptasi pada kondisi kelembaban tanah yang
sangat tinggi. Trichoderma viride dan Trichoderma polysporum terbatas pada
daerah yang mempunyai suhu rendah. Trichorderma harzianum sangat umum ditemukan
di daerah yang beiklim panas, sedangkan Trichorderma hamatum dan Trichorderma koningii
tersebar luas pada kondisi iklim yang bermacam–macam. Kondisi kering dalam
waktu yang lama mengakibatkan populasi Trichorderma spp. menurun (Rifai, 1969,
dalam Sri Sukamto dkk, 1994).
Suhu optimum untuk pertumbuhan
Trichorderma harzianum adalah 15-310 C, tetapi pertumbuhan terbaik rata-rata
pada suhu 300 C dan untuk suhu maksimum 300–360 C. Sedang suhu optimum untuk
pertumbuhan Trichorderma koningii adalah 260 C. Pertumbuhan normal untuk
cendawan Trichorderma harzianum pada pH 3,7-4,7 sedangkan Trichorderma koningii
pertumbuhan optimumnya pada pH 3,7-6,0 (Domsch et al., 1980, dalam Sri Sukamto
dkk, 1994).
2.5 Mekanisme Antagonis Cendawan
Trichoderma sp.
Trichoderma sp. dapat bersifat
antagonis terhadap banyak cendawan karena mempunyai banyak cara untuk mematikan
atau menghambat pertumbuhan cendawan lain. Ada tiga mekanisme antagonis
cendawan Trichoderma harzianum terhadap patogen tular tanah yaitu sebagai
kompetitor baik ruang maupun nutrisi, antibiosis yaitu mengeluarkan ethanol
yang bersifat racun bagi patogen dan sebagai mikro parasit (Sudantha, 1995,
dalam Sri Sukamto dkk, 1994).
Trichoderma koningii dan
Trichoderma viride dapat menghambat secara nyata terhadap cendawan Fusairum
annosus dan Rhizocthonia solani dengan antibiotika menguap yang dihasilkannya.
Disamping itu Trichoderma koningii dan Trichoderma viride juga dapat menggulung
Fusarium annosus dan Rhizocthonia solani. Trichoderma koningii dapat
mempengarui Phytophthora Palmivora cendawan penyebab panyakit busuk buah kakao
dengan perubahan warna menjadi kuning. Diduga hal ini karena adanya antibiotika
yang dikeluarkan oleh Trichoderma koningii tersebut. cendawan antagonis yang
lain seperti Trichoderma pseudokoningii dan Trichoderma aureoviride berdasarkan
pengamatan menandakan kontak langsung secara fisik dengan Phytophthora
Palmivora (Dennis dan Webster, 1971, dalam Sri Sukamto dkk, 1994).