Sabtu, 18 Mei 2013

The Taman Dayu


Taman Dayu Golf Club & Resort
PASURUAN, PANDAAN, INDONESIA
http://www.tamandayu.com

The Taman Dayu Golf Club & Resort is a heavenly escape, set in the lush green foothills of Mount Welirang that has for centuries offered tranquility in an incredible unique and natural beauty. The club offers a championship quality golf course designed by golf's living legend Jack Nicklaus, holder of 20 Major PGA tournament victories during his career as a player and has now become renowned as one of the top Golf Course Architects in the world. The Jack Nicklaus Signature Golf Course at Taman Dayu was strategically designed with nature in mind , enhancing the exceptional natural environment of the area as well as combining a world-class mountain resort ambiance with a truly outstanding 18-hole championship golf course. The course is not only an excellent green, it also is a reflection on the island natural beauty.











Pemanfaatan Jamur Trichoderma sp Pada Pembibitan Tembakau Kasturi


BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tembakau memiliki peranan yang penting dalam perekonomian nasional baik dari aspek penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan Negara, pendapatan petani maupun sektor jasa lainnya. Tembakau dan industri hasil tembakau dalam perekonomian nasional mampu berperan menyediakan lapangan kerja secara langsung maupun tidak langsung bagi 6,4 juta orang, meliputi 2,3 juta petani tembakau, 1,9 juta petani cengkeh,199.000 pekerja pabrik rokok, sekitar 1,15 juta pedagang eceran dan asongan, 900.000 orang yang bekerja pada sektor lembaga keuangan, percetakan dan transportasi (Rachman, 2003).
Tembakau merupakan salah satu komoditas pertanian andalan yang dapat memberikan kesempatan kerja yang luas dan memberikan penghasilan bagi masyarakat pada setiap rantai agribisnisnya. Selain itu, tembakau menunjang pembangunan nasional berupa pajak dan devisa Negara (Cahyono, B, 2005).
Untuk meningkatkan pendapatan petani tembakau sekaligus meningkatkan ekspor, pemerintah telah menganjurkan kepada petani tembakau untuk melaksanakan intensifikasi. Dalam pelaksanaan intensifikasi ini agar petani tembakau berhasil maka perlu diatur langkah-langkahnya. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan intensifikasi adalah masalah proteksi tanaman atau perlindungan tanaman dari penyakit sejak dini.
Pada tanaman tembakau, masalah proteksi sangat penting sekali khusunya saat pembibitan. Hama dan penyakit cukup banyak dan perlu penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam hal pengendalian hama sampai saat ini boleh dikatakan dapat diatasi, namun dalam hal penyakit, masih saja mengalami banyak kesulitan. Tidak jarang gagalnya produksi tembakau disebabkan oleh serangan penyakit, seperti yang disebabkan oleh cendawan, bakteri, dan virus. Dalam menghadapi penyakit pada pembibitan tembakau yang penting disini adalah bukan tindakan pemberantasan, namun tindakan pencegahan. Tindakan pemberantasan sampai saat ini hampir tidak pernah berhasil (Sudarmo, S. 1992).
Tanaman tembakau dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tembaku Na Oogst dan Voor Oogst. Tembakau Na Oogst adalah tembakau yang ditanam pada akhir musim kemarau dan dipanen pada musim hujan, tembakau Voor Oogst adalah tembakau yang ditanam awal musi kemarau dan dipanen pada musim kemarau. Salah satu tembakau Voor ogst adalah tembakau besuki, tembakua jember atau lebih dikenal dengan tembakau kasturi.
Segala jenis tembakau diharapkan memiliki kualitas dan kuantitas yang sangat tinggi untuk memenuhi permintaan para konsumen baik yang berasal dari dalam atau luiar negeri. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tembakau adalah perlindungan tanaman tembakau dari serangan penyakit. Biaya untuk mendapatkan fungisida saat ini harganya cukup besar dan sering kali fungisida yang digunakan berasal dari bahan kimia yang dalam penggunaannya bersifat tidak ramah lingkungan dan dapat mengurangi mutu hasil panen.
Sistem pengendalian penyakit yang menjadi jalan keluar terbaik saat ini yaitu dengan sistem pengendalian ramah lingkungan yaitu sistem pengendalian yang memperhatikan kondisi lingkungan ekosistem, misalnya dengan pestisida organik atau dengan cara musuh alami.
Adapun cara yang dapat kita lakukan yaitu dengan memanfaatkan agen hayati salah satunya adalah Trichoderma sp sebagai musuh alami.
Agen hayati mencakup pengertian mahluk hidup yang dimanfaatkan sebagai agen pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alami serangga hama, penyakit dan tumbuhan pengganggu untuk mengurangi kepadatan populasi (Mangndihardjo, 1975; Speight et al.,1999).  Pengendalian hayati dalam pengertian ekologi didefinisikan sebagai pengaturan populasi organisme tersebut berada dibawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian (De Bach, 1997, dalam Oka, 1998).
Pemanfaatan Trichoderma sp. diharapkan mampu meningkatkan produksi tanaman tembakau khususnya dalam hal pengendalian penyakit yang sering menyerang tanaman tembakau sehingga selain didapatkan hasil produksi yang optimal kita juga mampu menerapkan sistem budidaya yang ramah lingkungan
1.2 Rumusan Masalah
Pada tanaman tembakau, masalah proteksi atau perlindungan dari penyakit sangat penting.  Hama dan penyakit cukup banyak dan perlu penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam hal pengendalian hama sampai saat ini boleh dikatakan dapat diatasi, namun dalam hal penyakit, masih saja mengalami banyak kesulitan. Tidak jarang gagalnya pembibitan tembakau disebabkan oleh serangan penyakit, seperti yang disebabkan oleh cendawan, bakteri, dan virus. Dalam menghadapi penyakit pada pembibian tembakau yang penting disini adalah bukan tindakan pemberantasan, namun tindakan pencegahan pencegahan sejak
dini atau sejak usia pembibitan. Tindakan pemberantasan penyakit sampai saat ini hampir tidak pernah berhasil (Sudarmo,S.1992).
Hingga saat ini, baik petani maupun perusahaan yang melakukan pembibitan tanaman tembakau dalam pengendalian penyakit masih banyak yang menggunakan bahan-bahan kimia sebagai bahan utama untuk mengendalikan penyakit yang menyerang pembibitan tembakau. Oleh karena itu, masih butuh penelitian sampai manakah kemampuan agen hayati (Trichoderma sp.) sebagai pengendali penyakit yang sering menyerang pada pembibitan tanaman tembakau sehingga nantinya kita mampu menerapkan sistem pengendalian penyakit yang ramah lingkungan dan dari segi biaya pun lebih murah dibandingkan pengendalian yang menggunakan bahan-bahan kimia.
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Mengetahui sampai manakah Trichoderma sp. mampu mengendalikan intensitas serangan penyakit pada pembibitan tanaman tembakau.
Mengetahui perbandingan penggunaan agen hayati (Trichoderma sp.) dibandingkan menggunakan fungisida sintetik atau kimia.
Trichoderma sp. manakah yang paling efektif sebagai pengendali serangan penyakit pada tanaman tembakau.
Mengetahui seberapa kuat Trichoderrma sp. dalam mencegah cendawanRhizoctonia solani yang menyerang pebibitan tembakau kasturi.
1.3.2 Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai pengatahuan baru dalam berbudidaya tanaman tembakau khususnya dalam pengendalian penyakit pada saat pembibitan yang sering menyerang sehingga dihasilkan bibit yang sehat dan menghasilkan tanaman dengan produktivitas yang optimal dan lebih murah serta ramah lingkungan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tembakau
Menurut musimnya, tembakau di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu tembakau Voor-Oogst (VO) dan tembakau Na-Oogst (NO). Tembakau VO ditanam pada akhir musim hujan dan dipanen pada musim kemarau. Sedang tembakau VO ditanam pada akhir musim kemarau dan dipanen pada musim hujan (Cahyono, 1990).
Tanaman tembakau dapat tumbuh optimal pada daerah dengan ketinggian kurang dari 700 m diatas permukaan laut dengan temperatur lebih dari 22o C dan curah hujan rata-rata 2000mm/tahun. Sedang tembakau pada dataran tinggi sangat baik bila ditanam didaerah dengan curah hujan rata-rata 1500 – 3500 mm/tahun (Cahyono, 1990).
Tembakau banyak memiliki varietas, namun yang banyak dibudidayakan adalah dari induk Nicotiana tabacum dan Nicotiana rustica. Sekarang ini Nicotiana tabacum merupakan jenis tembakau yang banyak dibudidayakan yang merupakan tembakau asli dari India Barat, sebagian Amerika Tengah dan Ameriaka Selatan. Meskipun aslinya tanaman tembakau adalah tanaman tropis namun tembakau ini cocok dibudiyakan baik didaerah sub tropis atau didaerah beriklim sedang.
Tembakau adalah jenis tanaman semusim dan dimanfaatkan daunnya sebagai bahan pembuatan rokok. Tanaman tembakau diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Spermatophyta
Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotiledoneae
Bangsa : Solanales
Suku : Solanaceae
Marga : Nicotiana
Jenis : Nicotiana tabacum
2.2 Penyakit Pada Pembibitan
Penyakit yang sering menyerang pada pembibitan tembakau adalah Penyakit hangus batang atau damping off merupakan jenis penyakit yang disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani. Meskipun jenis penyakit ini tidak begitu meluas namun memiliki gejala yang sangat nampak yaitu gejala serangannya sama dengan yang disebakan oleh cendawan phytium dan phytohthora. tanda tanda serangannya adalah menyebabkan bibit terserang layu, karena terdapat gelang gelang yang berwarna hitam, tepat pada batang permukaan tanah. Mula mula daun layu dan berwarna kuning, bila dibelah batang yang terserang terlihat kering dan berwarna kecoklatan dan di dalamnyaditumbuhi cendawan.
Penyakit hangus batang yang disebabkan oleh cendawan rhizoctonia solani pada pembibitan ini tidak tidak begitu meluas. Untuk mengatasi atau mencegah serangan ini dapat dilakukan beberapa macam cara, baik secara kimiawi atau dengan memanfaatkan agen hayati atau musuh alaminya.
2.3 Pengendalian Secara Hayati
Pengendalian hayati adalah teknik pengendalian OPT dengan melibatkan peranan musuh alami dari OPT tersebut. Agen hayati mencakup pengertian mahluk hidup yang dimanfaatkan sebagai agen pengendali Organisme Pengganggu Tanaman. Pengendalian hayati dalam pengertian ekologi didefinisikan sebagai pengaturan populasi organisme tersebut berada dibawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian (De Bach, 1997, dalam Oka, 1998).
Pengendalian secara hayati adalah kerja dari beberapa faktor biotis seperti parasitoid, predator dan patogen terhadap mangsa atau inang, sehingga menghasilkan suatu keseimbangan umum yang lebih rendah dari pada keadaan yang ditunjukkan apabila faktor tersebut tidak ada atau tidak bekerja (Stern et al., 1959).
Pengendalian hayati memanfaatkan spesies-spesies mahluk hidup tertentu untuk mengendalikan hama penyakit tanaman. Pemanfaatan ini dimungkinkan karena adanya interaksi antara dua spesies mahluk hidup atas keuntungan yang satu memangsa atau sebagai parasit dan lainnya dirugikan karena dimakan atau meningkatkan efisiensi dan aktivitas musuh alami sehingga peranannya semakin nyata. Penggunaan pestisida dapat menurunkan populasi musuh alami, oleh sebab itu mengurangi penggunaan pestisida dapat membantu melindungi musuh alami (De Bach, 1997, dalam Oka, 1998).
Potensi musuh alami akhir- akhir ini sudah banyak dikembangkan, artinya pengendalian OPT sudah banyak memanfaatkan peran musuh alami, seperti predator, parasitoid, patogen serangga dan agens antagonis.
2.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Agen Hayati
1. Kelebihan agen hayati, antara lain :
Selektifitasnya tinggi dan tidak dapat menimbulkan ledakan hama baru dan resurgensi hama.
.Faktor pengendali (agen) yang digunakan tersedia di lapang.
Agen hayati (parasitoid dan predator) dapat mencari sendiri inang atau mangsanya.
Agen hayati (parasitoid dan predator, patogen) dapat berkembang biak dan menyebar.
Tidak menimbulkan resistensi terhadap serangga inang atau mangsa ataupun kalau terjadi sangat lambat.
Pengendalian ini dapat berjalan dengan sendirinya karena sifat agens hayati tersebut.
Tidak ada pengaruh samping yang buruk seperti pada penggunaan pestisida
Pengendalian hayati relatif murah.
2. Kelemahan agen hayati, antara lain :
Pengendalian terhadap OPT berjalan lambat.
Hasilnya tidak dapat diramalkan
Sukar untuk pengembangan dan penggunaannya
Dalam pelaksanaannya pengendalian hayati memerlukan pengawasan pakar dalam bidangnya.
Dalam mengembangkan pengendalian hayati harus selalu dikawal atau dimonitor.
2.4 Bioekologi Trichoderma sp
Trichoderma sp. masuk dalam kelas Euascomycetes dan family Hypocreaceae. Konidiofor hyaline, bercabang dan pyramidal. Konidia (dengan diameter rata – rata 3 µm) berbentuk sel tunggal dan bulat permukaannya halus dan kasar (Smith, et al, 1990).
Agen antagonis patogen tumbuhan yang telah banyak dikembangkan adalah cendawan Trichodema sp. Klasifikasi cendawan Trichoderma sp. adalah sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Subdivisi : Pezizomycotiana
Kelas : Sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : Hypocreaceae
Genus : Trichoderma
Cendawan marga Trichoderma terdapat lima jenis yang mempuyai kemampuan untuk mengendalikan beberapa patogen yaitu Trichorderma harzianum, Trichorderma koningii, Trichorderma viride, Trichorderma hamatum dan Trichorderma polysporum. Jenis yang banyak dikembangkan di Indonesia antara lain Trichorderma harzianum, Trichorderma koningii, Trichorderma viride.
Trichoderma sp. umumnya penghuni tanah, khususnya pada tanah organik. Cendawan ini dapat hidup sebagai saprofitik atau parasitik terhadap cendawan lain, bersifat antagonistik dan banyak digunakan sebagai pengendalian biologi (Sundheim dan Tromsno, 1988). Trichoderma sp. juga ditemukan pada permukaan akar bermacam-macam tumbuhan, pada kulit kayu yang busuk, terutama kayu busuk yang terserang cendawan dan pada sklerotia atau propagul lain dari cendawan lain. Cendawan Trichoderma sp. dapat hidup pada beberapa macam kondisi lingkungan. Trichoderma hamatum dan Trichoderma pseudokoningii dapat berdaptasi pada kondisi kelembaban tanah yang sangat tinggi. Trichoderma viride dan Trichoderma polysporum terbatas pada daerah yang mempunyai suhu rendah. Trichorderma harzianum sangat umum ditemukan di daerah yang beiklim panas, sedangkan Trichorderma hamatum dan Trichorderma koningii tersebar luas pada kondisi iklim yang bermacam–macam. Kondisi kering dalam waktu yang lama mengakibatkan populasi Trichorderma spp. menurun (Rifai, 1969, dalam Sri Sukamto dkk, 1994).
Suhu optimum untuk pertumbuhan Trichorderma harzianum adalah 15-310 C, tetapi pertumbuhan terbaik rata-rata pada suhu 300 C dan untuk suhu maksimum 300–360 C. Sedang suhu optimum untuk pertumbuhan Trichorderma koningii adalah 260 C. Pertumbuhan normal untuk cendawan Trichorderma harzianum pada pH 3,7-4,7 sedangkan Trichorderma koningii pertumbuhan optimumnya pada pH 3,7-6,0 (Domsch et al., 1980, dalam Sri Sukamto dkk, 1994).
2.5 Mekanisme Antagonis Cendawan Trichoderma sp.
Trichoderma sp. dapat bersifat antagonis terhadap banyak cendawan karena mempunyai banyak cara untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan cendawan lain. Ada tiga mekanisme antagonis cendawan Trichoderma harzianum terhadap patogen tular tanah yaitu sebagai kompetitor baik ruang maupun nutrisi, antibiosis yaitu mengeluarkan ethanol yang bersifat racun bagi patogen dan sebagai mikro parasit (Sudantha, 1995, dalam Sri Sukamto dkk, 1994).
Trichoderma koningii dan Trichoderma viride dapat menghambat secara nyata terhadap cendawan Fusairum annosus dan Rhizocthonia solani dengan antibiotika menguap yang dihasilkannya. Disamping itu Trichoderma koningii dan Trichoderma viride juga dapat menggulung Fusarium annosus dan Rhizocthonia solani. Trichoderma koningii dapat mempengarui Phytophthora Palmivora cendawan penyebab panyakit busuk buah kakao dengan perubahan warna menjadi kuning. Diduga hal ini karena adanya antibiotika yang dikeluarkan oleh Trichoderma koningii tersebut. cendawan antagonis yang lain seperti Trichoderma pseudokoningii dan Trichoderma aureoviride berdasarkan pengamatan menandakan kontak langsung secara fisik dengan Phytophthora Palmivora (Dennis dan Webster, 1971, dalam Sri Sukamto dkk, 1994).


Jamur Metarhizium anisopliae


Metarhizium anisopliae
Klasifikasi Metarhizium anisopliae
Taksonomi dan morfologi
Kingdom          : Fungi
Divisi                : Eumycota
Kelas               : Deuteromycetes
Ordo                : Moniliales
Famili               : Moniliaceae
Genus               : Metarhizium
Spesies            : Metarhizium anisopliae (Ainsworth, 1973)
Gambar 1. Morfologi konidia Metarhizium
Morfologi dari Metarhizium yang telah banyak diketahui yaitu konidiofor tumbuh tegak, spora berbentuk silinder atau lonjong dengan panjang 6-16 mm, warna hialin, bersel satu, massa spora berwarna hijau zaitun.  Metarhizium sp. tumbuh pada pH 3,3-8,5 dan memerlukan kelembaban tinggi.  Radiasi sinar matahari dapat menyebabkan kerusakan pada spora.  Suhu optimum bagi  pertumbuhan dan perkembangan spora berkisar pada 25-30oC.  Metarhiziummempunyai miselia yang bersepta, dengan konidia yang berbentuk lonjong. Metarhizium anisopliae bersifat saprofit pada media buatan, awal mula pertumbuahannya adalah tumbuhnya konidium yang membengkak dan mengeluarkan tabung-tabung kecambah (Anonymous,1999).
Gambar 2. Koloni  Metarhizium anisopliae
Tabung kecambah tersebut memanjang dan memanjang selama 30 jam.  Beberapa cabang tersebut membesar kearah atas membentuk konidiofor yang pendek, bercabang, berdekatan dan saling melilit.  Konidia terbentuk setelah satu minggu pertumbuhan, mula-mula berwarna putih kemudian berangsur menjadi hijau apabila telah masak.  Pembentukan konidia terdiri dari kuncup dan tunas yang memanjang pada kedua sisi konidiofor tersebut.  Umumnya sebuah rantai konidia bersatu membentuk sebuah kerak dalam media (Gabriel dan Riyatno, 1989).
Gambar 3. Konidia Metarhizium anisopliae
Spesias pertama genus Metarhizium (Subdivision Deteromycotina; Class Hyphomycetes; Order Moniliales). Metarhizium anisopliae, diisolasi dari serangga Coleoptera spesies Anisopliae austriacaI oleh Metchnikoff pada tahun 1878. Metarhizium spp. biasanya ada dimana-mana di seluruh dunia dalam fase yang berbeda-beda, yaitu diantara fase saprofit tanah dan fase patogen pada serangga. Metarhizium spp. (termasuk M. anisopliaeM. flavovirideM. albumdan M. brunneum) secara umum mempunyai sasaran inang yang luas.
Dibawah kondisi alami, Metarhizium spp menghasilkan dua jenis spora. Aerial conidia yang dihasilkan pada phialid-phialid selama fase saprofitik atau pada inang yang telah mati, dan didefinisikan sebagai spora-spora aseksual yang dihasilkan pada sporogenous dan hifa khusus yang dikenal sebagai phialid.  Tipe spora yang kedua adalah spora yang dihasilkan di hemolymph serangga yang biasanya disebut “blastospora”(Taborsky,1992).
Mekanisme Kerja Metarhizium anisopliae
Ellyda (1982) memberikan contoh dengan menaburkan Metarhizium anisopliaesecara merata pada sarang O. rhinoceros dengan kedalaman 25-30 cm sebanyak 15-20 gr/m2 ternyata dapat mematikan larva O. rhinoceros sebanyak 52%.
Dalam hal ini kontak langsung antara konidia dengan tubuh memegang peranan dalam penularan, karena menghasilkan patogenisitas terbanyak adalah dengan kontak langsung (Zelazny, 1988). Bila larva memakan ransum yang dicampur dengan M. anisopliae maka tinja yang dikeluarkan akan mengandung konidia. Hal ini dapat membantu penyebaran M. anisopliae (Sungkowo, 1985),Metarhizium anisopliae terbukti cukup aman terhadap hewan yaitu, tikus sehingga aman utuk digunakan dalam pengendalian hama secara mikrobiologi (Gabriel dan Riyatno, 1989)
Gambar 4. Stadia awal dari ulat yang terinfeksi Metarhizium , dimana hifa membentuk apressorium, yang mempunyai enzim untuk menghancurkan kutikula.
Roberts (1981) menyatakan bahwa perkembangan penyakit akibat serangan M. anisopliae pada serangga dapat dibagi dalam sembilan tahap:
  1. Penempelan bagian infektif yaitu konidia pada kutikula serangga.
  2. Perkecambahan konidia pada kutikula.
  3. Penetrasi tabung kecambah atau apresorium ke dalam kutikula.
  4. Perbanyakan hifa pada haemocoel.
  5. Produksi toksin yang dapat merusak struktur membran sel.
  6. Kematian inang.
  7. Pertumbuhan dalam fase miselium dengan penyebaran miselium ke seluruh     organ tubuh serangga.
  8. Penetrasi hifa dari kutikula keluar tubuh serangga
  9. Produksi bagian infektif (konidia) di luar tubuh serangga.
Dinyatakan bahwa jamur Metarhizium anisopliae memiliki aktivitas larvisidal karena menghasilkan cyclopeptida, destruxin A, B, C, D, E dandesmethyldestruxin B.Destruxin telah dipertimbangkan sebagai bahan insektisida generasi baru. Mittler (1994) dalam Widiyanti dan Muyadihardja menyatakan bahwa efek destruxin berpengaruh pada organella sel target (mitokondria, retikulum endoplasma dan membran nukleus), menyebabkan paralisa sel dan kelainan fungsi lambung tengah, tubulus malphigi, hemocyt dan jaringan.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Dan Perkembangan
Suhu Dan Kelembaban
Pertumbuhan dan perkembangan Metarhizium anisopliae sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan antara lain suhu, sinar matahari, pH dan kelembaban (Soenardi, 1978).
Suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi pertumbuhan jamur Metarhiziumterutama untuk pertumbuhan dan perkecambahan konidia serta patogenesitasnya.  Batasan suhu untuk pertumbuhan jamur antara 5-35oC, pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 23-25oC.  Konidia akan tumbuh dengan baik dan maksimum pada kelembaban 80-92 persen (Burges dan Hussey, 1971).
Sinar Matahari
Perkembangan konidia jamur M. anisopliae dapat terhambat apabila terkena sinar matahari secara langsung.  Konidia tidak akan mampu berkecambah apabila terkena sinar matahari langsung selama satu minggu, sedangkan konidia yang terlindung dari sinar matahari mempunyai viabilitas yang tinggi meskipun disimpan lebih dari tiga minggu (Storey dan Garner, 1988).  Pada suhu 8oC konidia yang disimpan pada kondisi gelap selama 3-5 hari masih mampu berkecambah 90%, sedangkan pada keadaan terang hanya 50% (Clerk dan Madelin dalam Wiryadiputra, 1985).
Gambar 3. Perkecambahan  Metarhizium anisopliae
Derajat Keasaman (pH)
Dalam beberapa penelitian pH media berpengaruh tehadap pertumbuhan jamurMetarhizium.  Tingkat pH yang sesuai berkisar antara 3,3-8,5, sedangkan pertumbuhan optimal terjadi pada pH 6,5  (Burges, 1981).
Kebutuhan Nutrisi Jamur Metarhizium anisopliae
Ferron (1981) berpendapat bahwa sumber nutrisi dapat berpengaruh pada pertumbuhan jamur entomopatogen. Inglod (1962) menyebutkan bahwa media jamur harus mengandung subtansi organik sebagai sumber C, sumber N, ion anorganik dalam jumlah yang cukup sebagai pemasok pertumbuhan dan sumber vitamin.  Metarhizium anisopliae juga memerlukan karbohidrat sebagai sumber karbon dalam pertumbuhannya.  Sejumlah penelitian menurut (Bilgrami dan Verma (1981) menunjukkan bahwa penggunaan karbohidrat tinggi mendorong pertumbuhan vegetatif jamur.
Pembentukan konidia jamur dipengaruhi oleh kandungan protein dalam media.  Protein diperlukan untuk pembentukan organel yang berperan dalam pembentukan apikal hifa dan sintesis enzim yang diperlukan selama proses tersebut dan enzim juga berperan dalam aktivitas perkecambahan dan protein yang diserap dalam bentuk asam amino (Garraway dan Evans, 1984).
Jamur entomopatogen membutuhkan oksigen, air dan sumber organik karbon dan energi.  Sumber nitrogen baik organik maupun anorganik dan bahan tambahan lain berupa mineral maupun pemacu tumbuh juga diperlukan.  Sumber karbon yang biasa digunakan sebagai media adalah dekstrose namun dapat diganti dengan  polisakarida seperti tajin atau lipid.  Nitrogen dapat disediakan dalam bentuk nitrat, amonia atau bahan organik seperti asam amino atau protein.  Makronutrisi penting yang lain adalah phospor (dalam bentuk phospat), potassium, magnesium dan sulfur ( yang disediakan dalam bentuk sulfat maupun dalam bentuk organik, cystein atau methionine).  Mikronutrisi penting yang dibutuhkan oleh kebanyakan jamur entomopatogen adalah kalsium, besi, tembaga, mangan, molybdenum, zinc dan vitamin B komplek, khususnya biothine dan thiamine.  Semua mikronutrisi ini biasanya terdapat dalam bahan mentah, akan tetapi dapat dipenuhi dalam bentuk protein hidrolisat atau ekstrak yeast (Taborsky, 1992).
Produksi Metarhizium Skala Kecil
Isolat Metarhiziun anisopliae harus diambil dari inang  kemudian ditanam pada media sabouraud cair.  Inkubasi media cair dilakukan sampai delapan hari, kepadatan spora dapat mencapai 3,19 x 1010.
Kondisi cahaya terang maupun gelap tidak berpengaruh pada produksi massal konidia dan temperatur  adalah faktor penting untuk menghasilkan konidia.  Setelah 6 hari temperatur yang baik untuk pertumbuhan Metarhizium adalah 24-25oC dan selanjutnya dapat diturunkan sampai pada temperatur 22-20oC (Taborsky, 1992).
Fase Pertumbuhan Jamur
Gandjar dan Sjamsuridzal (2006) menyatakan bahwa setiap organisme, termasuk jamur mempunyai kurva pertumbuhan, begitu pula fungi.  Kurva tersebut diperoleh dari menghitung massa sel dalam waktu tertentu.  Kurva pertumbuhan mempunyai beberapa fase antara lain :
  1. Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan dan pembentukan enzim-enzim untuk mengurai substrat.
  2. Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi fase aktif.
  3. Fase eksponensial, merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat banyak, aktifitas sel sangat meningkat, dan fase ini merupakan fase yang penting dalam kehidupan fungi.
  4. Fase deselerasi (Moore-landecker, 1996), yaitu fase dimana sel-sel kurang aktif membelah.
  5. Fase stasioner, yaitu fase dimana jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang mati relatif seimbang.  Kurva pada fase ini merupakan garis lurus yang horizontal.
  6. Fase kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati atau tidak aktif lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.